Kamis, Juli 26, 2007

**Pudarnya Pesona Cleopatra**

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal." Ibunya Raihanai adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu" kata ibu.

"Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu", ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang
begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan
sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, "cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jel ita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari
menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Haripernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan emapt group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke
kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab " tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga" Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil 'mbak', " kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku" tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. "wallahu a'lam" jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, "Kalau mastidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini". Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku
pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. "Mas tidak apa-apa" tanyanya dengan perasaan kuatir. "Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih" lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. "Mas airnya sudah siap" kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. "Mas aku buatkan wedang jahe" Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. " Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?" tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. "Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas". " Biasanya dikerokin" jawabku lirih. " Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin" sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin
punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku
merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk
di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal
Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin
menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis
mesir titisan Cleopatra. Dalam tidur aku bermimpi
bertemu dengan Cle
opatra, ia mengundangku untuk makan malam di
istananya." Aku punya keponakan namanya Mona Zaki,
nanti akan aku perkenalkan denganmu" kata Ratu
Cleopatra. " Dia memintaku untuk mencarikannya seorang
pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat
memperkenalkannya denganmu". Aku mempersiapkan
segalanya. Tepat puku 07.00 aku datang ke istana,
kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik
sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi
yang berhias berlian. Aku melangkah maju, belum sempat
duduk, tiba-tiba " Mas, bangun, sudah jam setengah
empat, mas belum sholat Isya" kata Raihana
membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa.
" Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas
belum sholat Isya" lirih Hana sambil melepas
mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam.
Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi
sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia,
dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi
apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat
baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana,
aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka
semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam
suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku
sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa
dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

" Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah.
Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita
diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak
kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang"
Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada
Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang
berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin
saja. " Ma??maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,"
lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan
aku di ruang kerja. " Mbak! Eh maaf, maksudku
D..Din?쪫inda Hana!, panggilku dengan suara parau
tercekak dalam tenggorokan. " Ya Mas!" sahut Hana
langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk
tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil "dinda". "
Matanya sedikit berbinar. "Te?ì«¡erima
kasih?쪫i?쫉inda, kita berangkat bareng kesana,
habis sholat dhuhur, insya Allah," ucapku sambil
menatap wajah Hana dengan seny
um yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah
sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya.
" Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai
baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar
dinda saja yang memilihkan ya?". Hana begitu bahagia.

Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap
sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh
tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah
melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka
padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak
sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini,
kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku
sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes
embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga
turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu?
Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang
yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak
sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran
pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami
dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta,
dan penuh bangga. " Selamat datang pengantin baru!
Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam
keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia
mertua dan ubundaku serta kerabat yang lain. Wajah
Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain
dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan
ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir
dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al
Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah
seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa
cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain.
Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya
pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik
meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa
memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana. Sambutan
sanak saudara pada
kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap
Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata
keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah
diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai
seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku
bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat
pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku
dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. " Sudah
satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada
tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang
cucu" kata ibuku. " Insya Allah tak lama lagi, ibu
akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu,
Mas?" sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku
tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat
dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra
dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya
pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan
kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi
ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan
Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia
semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun
hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan
kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera.
Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang
sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat
nuraniku bertanya" Mana tanggung jawabmu!" Aku hanya
diam dan mendesah sedih. " Entahlah, betapa sulit aku
menemukan cinta" gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan
Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin
untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alas an
kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia
kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus
tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga
ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku
pamitan, Raihana berpesan, " Mas untuk menambah biaya
kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku
yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no pinnya
sama dengan tanggal pernikahan kita".

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit
lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang
membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa
demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus
menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku,
karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa
Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah
hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar
lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan
perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada
Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur
kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan
mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan
menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku
benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam
enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan
dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat
subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu
aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat
sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan
mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari
universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata
kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah
professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak
berbincang dengan beliau tentang mEsir. Dalam
pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi,
seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh
S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman
hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.
"Apakah kamu sudah menikah?" kata Pak Qalyubi.
"Alhamdulillah, sudah" jawabku. " Dengan orang mana?.
" Orang Jawa". " Pasti orang yang baik ya. Iya kan?
Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang
menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah.
Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu
dari pesantren?". "Pernah, alhamdulillah dia sarjana
dan hafal Al Quran". " Kau sangat beruntung, tidak
sepertiku". " Kenapa dengan Bapak?" " Aku melakukan
langkah yang salah, seandain
ya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu
batinku tidak merana seperti sekarang". " Bagaimana
itu bisa terjadi?". " Kamu tentu tahu kan gadis Mesir
itu cantik-cantik, dank arena terpesona dengan
kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya
begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang
kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua.
Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang
Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun
pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat
yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. Demikian
juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan
rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya
dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin.
Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya
jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk
itu. Saya bersumpah tidak akan menikaha dengan
siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak
bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar
oleh Fadhi
l. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan
anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan
menikahinya. Saya memilih yang kedua. Ketika saya
menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi
masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir,
kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al
Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari
pada dengan YAsmin yang awam pengetahuan agamanya.
Tetpai saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan
biaya yang tinggi saya berhasil menikahi YAsmin.
Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis
Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel
berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke MEdan,
saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal
di Indonesia. KAmi langsung membeli rumah yang cukup
mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami
berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke
Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi
semua yang diinginkan YAsmin. Hidup terus berjalan,
biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga
lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta
YAsmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga
tahun sekali YAsmin tidak bisa. Aku mati-matian
berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak
terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk
modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap
kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup
dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa
mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik.
Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang
mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus
ke warung. YAsmin tidak mau tahu dengan masakan
Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya
memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit
letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan
saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut,
saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi
dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang
hidup serb
a kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami
orang Mesir. Saya menyesal meletakkan kecantikan
diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit,
ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah,
yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan
sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu
cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis
saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak
ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang
menyakitkan. " Aku menyesal menikah dengan orang
Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa
bahagia kecuali dengan lelaki Mesir". Kata Yasmin yang
bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia
bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan
temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan
istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang,
dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia
karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu s
aya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak
satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini
Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita
bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua
bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir
sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengann
temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung
menggigau meminta ibunya pulang".

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak.
Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat
Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak
terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya.
Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia
istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta
apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan
pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku
mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum
terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala
didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana
sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan.
Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya.
Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju
muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga
daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan
kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku.
Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke
kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan
dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas
merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat
cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat
surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat
cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan
istriku serong??Dengan rasa takut kubaca surat itu
satu persatu. Dan Rabbi?ì«¡ernyata surat-surat itu
adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku
zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian
mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia
menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang
luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap
melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia
memanjatkan doa untuk k
ebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta
sejati dariku.

"Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh
dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan
hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena
karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah
terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi,
curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba?╈??
tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa" Ya Allah inilah
hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali
datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini
kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu
ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa
begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan
menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba
padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih
kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang
masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini
cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai
dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang
menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba
masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba
kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya
Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat
mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini
kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan
teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini.
Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha
Suci Engkau".

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak
oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak.
Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang.
Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan
pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang
lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku,
semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan
cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang
turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika
itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta
Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta
pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam
hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata.
Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar
waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut
kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku
yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman
rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan
nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat
kedatanganku, ibu m
ertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku
jadi heran dan ikut menangis. " Mana Raihana Bu?". Ibu
mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya
apa sebenarnya yang telah terjadi. "
Raihana?ì«’strimu..istrimu dan anakmu yang
dikandungnya". " Ada apa dengan dia". " Dia telah
tiada". " Ibu berkata apa!". " Istrimu telah meninggal
seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak
selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk
memintakan maaf atas segala kekurangan dan
kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf
karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf
telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia
minta kau meridhionya". Hatiku bergetar hebat. "
Ke?ì«•enapa ibu tidak memberi kabar padaku?". "
Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah
mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah
kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus
katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami ti
dak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar
kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan.
Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi
maafkanlah kami".

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk.
Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada.
Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah
meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia
telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi
kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan
tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan
penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang
masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan
itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat
Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa
cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku
ingin Raihana hidup kembali.

Dunia tiba-tiba gelap semua?╈??

Tidak ada komentar: